Jumat, 26 Februari 2010

Semua Karna Ibu (revisi)

Siang yang panas.Anak sekolah,kendaraan,semua memenuhi jalan.Aku berjalan menyusuri gang,menghindar dari asap dan debu yang beterbangan.Terik matahari membuat ubun – ubunku terasa mendidih.Saat pulang sekolah seperti ini memang melelahkan.Namun tidak hari ini, lelah tak terlalu kurasa kala Pak Dlofir,guru fisikaku mengumumkan bahwa aku terpilih untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat Jawa Tengah.

Langkahku kupercepat,ingin segera aku menemui ibu dan menceritakan kabar gembira ini.Aku setengah berlari,serasa tak sabar ingin bertemu ibu.

‘’Bu,ibu…Ratih pulang bu…’’Teriakku sampai di depan rumah.
‘’Ada apa Ratih,kok teriak – teriak,buat ibu kaget aja,’’
‘’Ratih terpilih ikut olimpiade fisika tingkat jawa tengah bu…’’
‘’Alhamdulillah…,anak ibu bisa ikut,kapan nak?’’
‘’Lusa bu…’’
‘’Belajar yang rajin,jangan sia-siakan kesempatan ini ‘’
‘’Iya bu,Ratih janji akan berusaha agar nanti bisa bawa piala untuk ibu,’’
‘’Sekarang kamu ganti baju dulu lalu makan ‘’
Aku menurut,ku ganti bajuku dan makan.

Waktuku kuhabiskan untuk belajar.Ibu selalu menyegahku setiap aku mau membantunya mencuci baju atau menyetrika pakaian tetangga yang ia cuci.

‘’Sudah,Ratih belajar aja,nggak usah Bantu ibu dulu’’tuturnya.
Bahkan,setiap malam ibu tak pernah absen menemaniku belajar.Seperti malam ini,malam terakhirku belajar materi olimpiade,karena besok aku sudah lomba.Dengan menjahit seragamku yang akan kupakai besok,ibu menemaniku belajar,hingga ia ketiduran.

Keningku mengkerut,kala kuperhatikan wajah ibu yang pucat
dan tubuhnya yang semakin kurus.Di tangannya masih menggenggam seragamku,yang belum selesai ibu jahit.

‘’Bu…,ibu pindah ke kamar aja,di sini dingin’’dengan hati-hati kucoba membangunkannya.
‘’Hhhh,maaf nak ibu ketiduran,kamu udah selesai belajarnya?’’
‘’Ratih bentar lagi,ibu tidur aja’’
‘’Ibu tidurnya nanti,ibu mau temenin Ratih belajar,sekalian nyelesaiin jahitannya,besok,Ratih pakai apa?’’
‘’Tapi bu…’’
‘’Udah,kamu belajar aja,ibu tidur nanti’’
‘’Tapi kalau ibu udah capek ibu langsung tidur ya…’’
‘’Ya,Ratih juga,jangan malem-malem belajarnya,ntar sakit,besok malah nggak jadi lomba.’’
Aku tersenyum,kulanjutkan belajarku.Wajah ibu tambah pucat,semakin hari batuk ibu juga semakin keras.Hatiku pun menjadi resah.

‘’Besok ibu pergi ke puskesmas ya…,biar dapat obat’’
‘’Ibu nggak papa kok,cuma batuk biasa nanti juga sembuh sendiri’’
‘’Tapi semakin hari batuk ibu semakin keras,kalau nggak segera diobati bisa berbahaya bu…’’
‘’Iya,besok ibu periksa ke puskesmas’’
Aku tersenyum lega,kurapikan buku-bukuku dan mengajak ibu tidur.

* * *

Akhirnya,waktu yang kutunggu datang juga.Hari ini adalah hari aku lomba.Aku berangkat lebih pagi karena tempat aku lomba cukup jauh.

Pagi ini hatiku terasa gelisah,batuk ibu yang semakin keras membuatku jadi khawatir.

‘’Bu,Ratih mau berangkat’’panggilku ketika ibu di belakang.
‘’Iya nak sebentar…’’jawab ibu dengan sedikit lari menemuiku.
‘’Bu,di pipi ibu,kok… ada darah?’’tanyaku heran.
‘’Mana…?,mungkin nyamuk tadi’’ jawab ibu gugup.
‘’Bu,doakan Ratih ya,agar bisa membawa piala untuk ibu.’’
‘’Pasti nak,ibu selalu mendoakanmu’’Air mata ibu menetes.
‘’Bu,tunggu ratih ya…,ratih akan bawa piala untuk ibu.’’
‘’iya nak,ibu akan menunggu anak ibu,selalu.’’
Kucium tangan ibu dank upeluk ibu.Terasa ada rindu yang mendalam di hatiku.Serasa akan ada yang hilang dari ibu,namun segera kubuang jauh pikiran itu.

Aku berangkat,ibu tetap berdiri di depan pintu,memandangku sampai aku di tikungan jalan dan tak terlihat lagi.Setibanya di sekolah pak Dlofir langsung memanggilku untuk berkumpul dengan yang lain.Tak beberapa lama,kami pun berangkat.Karena tempatnya yang cukup jauh,perjalanan memakan waktu tiga jam.

Sampai di Pati,tempatku lomba,Pak Dlofir langsung mendaftar.Diam-diam aku bangga bisa mewakili sekolahku.
Tak berapa lama setelah mendaftar,tes pun dimulai.Beberapa pandangan tertuju kepadaku,dari ujung kaki sampai ujung kepala terus mereka pandangi,mungkin karena sepatuku yang sudah rusak,seragamku yang lusuh,dan tasku yang terlihat jahitan tangan ibu dengan warna benang yang berbeda,sehingga mungkin penampilanku tidak meyakinkan,tidak seperti mereka yang terlihat rapi,aku memang sedikit minder,tapi aku tak boleh pesimis,’’jangan pernah pesimis,apalagi putus asa,orang yang pesimis dan putus asa tak akan pernah berhasil.’’itulah kata-kata ibu yang selalu kupegang.Aku mencoba untuk tetap biasa,kucari tempat duduk dan kukerjakan soal yang telah diberikan pengawas.Alhamdulillah,aku mengerjakan dengan lancar.
Beberapa jam aku dan rombonganku menunggu pengumuman .Setelah diumumkan,alangkah bahagianya hatiku ketika melihat namaku,RATIH NURYANI dari MTs Al-Fatah Grobogan tertulis paling atas.Ya,aku dapat memenangkan ini.Air mataku menetes,pikiranku tertuju pada ibu.’’Bu,ratih berhasil,ratih akan bawa piala untuk ibu,tunggu ratih bu,sebentar lagi ratih pulang,’’ucapku dalam hati.
Setelah tau hasilnya,rombongan kami langsung pulang.Hatiku sudah tak sabar ingin menunjukkan piala ini pada ibu.Akhirnya,setelah tiga jam perjalanan,sampai juga rombongan kami.Aku meminta turun di gang rumahku.Aku lari secepat mungkin,tak sabar hatiku ingin menunjukkan piala yang aku bawa untuk ibu.Tapi,betapa terkejutnya hatiku,melihat tetangga-tetangga mengerumuni rumahku.Jantungku berdetak semakin keras ketika terdengar lantunan surat yasin.

‘’Bu…,ibu…,Ratih pulang bu…’’Teriakku saat masuk rumah.Hatiku semakin hancur kala melihat tubuh ibu membujur tsk bernyawa.

‘’Bu,katanyanya mau nunggu ratih di depan pintu,kok ibu tidur,’’ucapku masih tak percaya.
‘’Bu,Ratih lihat bu,Ratih berhasil,Ratih bawa piala untuk ibu,’’
‘’Bu,kenapa ibu diam,jawab bu,jawab Ratih…’’
‘’Ratih,sabar nak,biarkan ibumu pergi dengan tenang,semua ini takdir’’tutur bu siti tetangga dekatku.
‘’Ibu nggak mati,ibu udah janji mau nunggu Ratih pulang bawa piala untuk ibu,’’
‘’Ia Ratih,tapi kamu harus sadar,kalau ibumu sudah pergi,’’

Bu Siti mendekapku,aku terus menangis dalam dekapnya.Ia tak berhenti menenangkanku,hingga ia menjelaskan semuanya.

‘’Tadi,sebelum ibumu pergi ia titip ini untukmu.’’Bu siti menyodorkan sebuah amplop padaku.Kuterima amplop itu dan kubaca.


Untuk anak ibu tercinta,
Ratih Nuryani

Ratih…
Ibu yakin,kamu pasti pulang dengan membawa piala untuk ibu,ibu bangga nak.Belajar yang rajin biar pintar dan jadi orang sukses.Jangan seperti ibu,jadi orang bodoh dan tak bias buat Ratih bahagia,
Ratih jangan sedih nak,…
Walaupun saat kamu pulang membawa piala itu ibu sudah tak ada,tapi ibu akan selalu ada di hati ratih.Ratih harus tetap sekolah,bu siti yang akan mengurusmu.Jangan pernah pesimis,apalagi putus asa,orang pesimis dan putus asa tidak akan pernah berhasil.
Ratih harus bisa,ratih harus sukses dan bisa berguna bagi siapa saja.Doakan ibu yang jauh dari ratih,ibu tunggu doa anak ibu selalu.


Ibu

Air mataku semakin deras mengalir.Ku dekap erat surat ibu,hingga basah oleh air mata yang terus mengalir deras.
‘’Ratih,ibumu mengidap penyakit kanker hati,ibumu tak punya biaya untuk berobat.Ibumu merahasiakannya padamu karena ia tak ingin melihat kamu sedih,’’tutur bu siti yang dari tadi ada di sampingku.
‘’Sekarang kamu tinggal bersama Bu Siti,karena ibumu sudah menitipkan kamu pada ibu,’’
Aku terdiam,tak kusangka ibu memendam rahasia ini padaku.

Semua sudah terjadi,tak ada gunanya lagi aku menyesali,walaupun hati belum bisa menerima.

Sejak saat itu aku tinggal dengan ibu siti.Ia seorang janda dan tak mempunyai anak.Dengan warisan yang ditinggal suaminya,ia membiayai sekolahku sampai perguruan tinggi.Prestasi demi prestasi kuperoleh,dan sekarang aku sudah menjadi dokter.

‘’Bu,sekarang Ratih udah berhasil,Ratih udah jadi dokter,seandainya ibu masih ada,pasti ibu bangga lihat Ratih,semua ini karena ibu,’’ucapku di atas nisan ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar