Minggu, 18 April 2010

SEUNTAI MAKNA CINTA (Revisi)

oleh ULFATUL M

Langit terlihat semakin cerah,kabut pagi mulai pudar,dan mentari mulai pancarkan sinarnya.Sepasang mata indah terus memandang ke ufuk timur.Dengan butiran-butiran tasbih yang berputar pelan,bibir tipis yang berbisik dzikir,dan sebuah Al-Qur’an yang diapit jari-jari mungil di tangan kirinya.

Naya namanya.Lengkapnya Naya Zulaikhah,gadis cantik berkulit putih,bermata indah,hidung yang tak terlalu mancung,dan bibir yang tipis.Ia tinggal di sebuah penjara suci Assalafi,sebuah pesantren yang merupakan pondok besar di Brebes.Ya,itulah penjara yang selalu membuat hatinya tentram dan damai.Tujuh tahun terasa sekejap baginya.Dan baru satu tahun lalu ia tamat aliyah (setingkat MA/SMA).

Dibukanya Al-Qur’an itu,dideresnya juz bagian awal.Kalimah demi kalimah ia rangkai,dan ayat demi ayat ia lantunkan.Namun tak berapa lama bibir mungil itu berhenti.Hatinya resah.Janji dan kenangan dimasa lalu kembali menghantuinya.Mata lentiknya memandang langit biru,masih teringat jelas kenangan itu,lima tahun lalu.Kala ia duduk di kelas IX MTs Assalafi Brebes.

’’Anak Assalafi... ?’’Sebuah suara yang mengagetkan Naya.Ia menoleh sumber suara itu.Seorang laki-laki tampan berseragam putih abu-abu.
’’Iya...’’Jawabnya dengan senyum,manis sekali.Bis terus melaju.
’’Kelas berapa?’’
’’Kelas IX,kak.....’’membaca bet nama laki-laki itu.
’’Hasan,...’’potong laki-laki itu.Naya tersipu.
’’Kak Hasan sendiri?’’
’’Aku anak Assalafi juga,di MAK-nya’’
’’Kelas berapa?’’
’’Kelas XII,kamu setiap hari naik bis kalau mau berangkat?’’
’’Sebsnarnta saya mondok,tapi lagi pengen di rumah dulu’’
’’Di Assalafi?’’
‘’Iya.’’ ‘’ Kak Hasan setiap hari naik bis?’’
‘’Sebenarnya aku juga mondok di sana,tapi lagi pengen di rumah,sama seperti kamu.’’ ‘’Naya Zulaikhah,nama kamu bagus ya...,’’
Naya tersenyum.Tak berapa lama bis yang mereka naiki berhenti.Merekapun turun.

‘’Naya...!’’Seru sobat-sobat Naya yang sengaja menunggunya.
’’Hai...!’’Balas Naya.’’Aku duluan ya kak,asssalamualaikum...’’Nya berlalu meninggalkan Hasan.
’’Waalaikum salam,’’jawab Hasan.’’Subhanallah...,Naya,nama yang cantik secantik orangnya.’’gumam Hasan tanpa sadar.
’’Woi...assalamualaikum bos...!’’kaget Amir dari belakang.
’’Astaghfirullah Amir.....,waalaikum salam,hobi ya kamu suka ngagetin orang!’’
’’Maaf...,pagi-pagi udah ngelamun sih,ke kelas yuk...!’’
’’Untung nggak lari jantungku Mir,kalau sampai lari aku suruh ngejar kamu,’’gerutu Hasan sambil berjalan.
’’He...he...he...,kan udah minta maaf,makanya pagi-pagi jangan ngelamun,untung yang nyambet aku,kalau yang nyambet setan lewat bagaimana?’’
Mereka terus berjalan menuju kelas.Tak berapa lama bel berbunyi. Bertanda pelajaran akan segera dimulai.

# # #

Empat jam berlalu tanpa pelajaran.Hampir semua kelas gaduh.Tak biasanya seperti ini.
’’Pengumuman,karena bapak dan ibu guru akan rapat,maka anak-anak bisa belajar di rumah,’’sebuah pengumuman melalui pengeras suara tersebut seketika membuat sekolah menjadi semakin gaduh. Hasan beranjak dari tempat duduknya.

’’San,kapan kamu balik ke pondok?’’tanya Amir,sobat Hasan di kelas dan di pondok.
’’Belum tau,aku masih pengen di rumah’’
’’Jangan lama-lama di rumah,pondok sepi nggak ada kamu’’
Hasan tersenyum,ditepuknya bahu Amir.Sampai di gerbang merekapun berpisah.
’’Aku duluan San,hati-hati di jalan,sampaikan salamku untuk ayah ibumu di rumah,’’ucap Amir sebelum berlalu.
’’Insya Allah,’’jawab Hasan.
Terlihat di seberang jalan Naya berdiri menunggu bis.Hasanpun menghampirinya.
’’Hai Nay...,’’Sapa Hasan.
’’Hai juga kak,’’jawab Naya.
’’Kapan kamu balik ke pondok?’’tanya Hasan
’’Belum tau kak,masih pengen di rumah,tapi mungkin satu minggu aku di rumah.’’
Tak berapa lama bis yang mereka tunggu lewat dan mereka naik. Semakin lama mereka semakin akrab.Ketika masih di rumah mereka selalu berangkat dan pulang bareng.Setelah balik ke pondokpun mereka juga masih akrab,bahkan semakin akrab. Tak jarang Naya meminta bantuan Hasan kala Naya butuh.

''Kak Hasan...!''seru Naya ketika bertemu Hasan di jalan.
''Iya Nay,ada apa?''
''Naya mau pinjam kamus bahasa arabnya kak Hasan,soalnya Naya ada tugas dan dikumpulkan besok.
''Oh...,ini''Menyodorkan kamus itu.
''Makasih ya kak...,insya Allah Naya kembalikan besok sepulang sekolah,
''Ya,terserah kamu.''

Begitulah mereka,tak jarang mereka bercanda dan pulang sekolah bareng.Hingga suatu hari benih-benih itu mulai tumbuh dihati mereka.Semaki hari rasa itu semakin bertambah dirasakannya,baik Naya atau pun Hasan.Semakin bertambahnya rasa itu mereka menjadi salah tingkah.Akhirnya rasa itu tak biza lagi Hasan pendam.Hasan mencoba tuk mengutaraka apa yang dia rasakan terhadap Naya.

''Nay...,''ucap Hasan membuka kebisuan.
''Kamu tau apa itu makna cinta Nay...?''
Naya tetap diam,kepalanya samakin menunduk.
''Aku merasakannya Nay,''
''selama ini aku tlah dihantui rasa itu .Rasa yang selalu membuat hatiku gelisah.Aku tak pernah bisa tidur.Rasa itu terus mendera hatiku.Aku mencoba tuk memendamnmya,namun hatiku terasa semakin gundah.Kucoba lagi menahannya,namun semakin lama rasa itu malah semakin sakit,membuatku menjadi semakin tersiknya.Aku telah mencari makna itu dalam bisik dzikirku,namun aku tak menemukannya.kucoba mencarinya dalam sholat malamku,namun tak kutemukan juga.kucari lagi dalam setiap rangkaian ayat al-qur'an yang kulantunkan namun tetap saja tidak ada.Namun akhirnya makna itu kutemukan Nay,dan makna itu kutemuka ada padamu....''

Naya terperanjak.Detak jantungnya terasa berhenti sejenak.Tak pernah ia duga,seorang Hasan memendam rasa padanya,seorang Hasan merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan.

''Kak,apakah kak Hasan yakin makna itu ada pada saya?''
''Nay,aku tak pernah rasakan ini seumur hidupku,baru kali ini Nay..''
''Berikan aku waktu kak,untuk mencari makna itu'pada hari,dan saat yang sama aku akan mengatakannya,''
''Kan selalu kutunggu kepastian itu Nay,''

Naya berlalu.Akhirnya satu minggu kemudian kepastian itu datang.

''Kak,...''ucap Naya membuka kesunyian.
Hati Hasan terus bergejolak.
''Aku menemukan makna itu dalam hatiku kak...''
''Naya...,kamu...''
''iya kak,..''

Kedua insan itu pun merasa indahnya dunia kala makna cinta yang mereka cari telah menyatu.Makna itu terus bertahan meski mereka telah berpisah,terbentang jarak.Namun semua itu tak meretakkan kukuhnya cinta mereka.Tujuh tahun sudah usia makna cinta itu bertahan.Hingga badai perpisahah itu datang,meretakkan dua hati insan yang telah menunggu makna itu tuk menyatu selamanya.Satu demi satu lamaran telah Naya tolak,hati Naya mulai resah.Hasan yang ia tunggu,beberapa bulan ini tak memberi kabar.Sudah tujuh orang laki-laki tak Naya hiraukan.

''Nay,mau sampai kapan kamu menunggu Hasan,ingat Nay sudah tujuh orang yang kamu tolak,kamu juga harus berfikir mau sampai kapan kamu begini,ya kalau dia menunggumu,tapi kalau dia sudah menemukan orang lain bagaimna?''ucap ibu menyarankanku,kala maz Fatir melamarku.Aku terdiam,hatiku terus bergejolak,apa yang ibu katakan memang benar. Aku terus berfikir yang tidak-tidak,mungkih kak Hasan sudah menemukan perempuan lain untuk menjadi pendampingnya.Akhirnya lamaran mas Fatir kuterima.Namun betapa hancurnya hatiku ketika sebulan setelah lamaran itu,kak Hasan pulang dan menemuiku.

''Nay,makna itu masih kugenggam erat Nay,untukmu,''ucap kak Hasan.
Air mataku mulai menetes.
''Nay,kamu menangis Nay...?''ia mulai tak mengerti
Air mataku semakin deras mengalir.
''Ada apa Nay,kenapa kamu menangis?
''Kak,aku telah dilamar laki-laki lain kak,aku sudah mencoba menunggu,bahkan aku kan tetap menunggu kakak,tapi ibu yang membujukku kak,ibu kira kakak sudah menemukan perempun lain...,karena kakak sudah tidak pernah lagi memmberi tau kabar kakak.'' terangku dengan terisak.
''Astaghfirullahal'adzim........''ucap kak Hasan mendengar penjelasan Naya.

Sesaat suasana berubah menjadi hening,mereka terdiam.

''Nay,berarti makna cinta ini tak bisa lagi bersatu,kamu telah dimiliki orang lain, berikan makna itu pada calon suamimu Nay,kamu akan selamanya bersamanya,''
Naya tetap menangis.
''Aku bahagia Nay,pernah memiliki tulusnya cintamu,bahkan aku adalah orang pertama yang memiliki cintamu,walau tak selamanya.Semoga kamu bahagia Nay bersamanya, semoga dia mencintaimu melebihi cintaku padamu.Percayalah Nay,Allah mempunyai rencana yang lebih baik lebih indah dari yang kita rencanakan.Salamkan kepadanya dariku, dari orang yang pernah mencintaimu,Assalamu'alaikum...''Hasan beranjak meninggalkan Naya.

Semua suda terlanjur,makna cinta yang mereka jaga dan pertahankan telah berakhir.Semua itu Allahlah yang mengatur.Sekarang tak ada lagi makna cinta,yang punya hanya mereka berdua,yang sekarang sudah berakhir...

Rabu, 07 April 2010

Seuntai Makna Cinta

Langit terlihat semakin cerah,kabut pagi mulai pudar,dan menyari mulai pancarkan sinarnya.Sepasang mata indah terus memandang ke ufuk timur.Dengan butiran-butiran tasbih yang berputar pelan,bibir tipis yang berbisik dzikir,dan sebuah Al-Qur’an yang diapit jari-jari mungil di tangan kirinya.

Naya namanya.Lengkapnya Naya Zulaikhah,gadis cantik berkulit putih,bermata indah,hidung yang tak terlalu mancung,dan bibir yang tipis.Ia tinggal di sebuah penjara suci Assalafi,sebuah PONPES yang merupakan pondok besar di Brebes.Ya,itulah penjara yang selalu membuat hatinya tentram dan damai.Tujuh tahun terasa sekejap baginya.Dan baru satu tahun lalu ia tamat aliyah (setingkat MA/SMA).

Dibukanya Al-Qur’an itu,dideresnya juz bagian awal.Kalimah demi kalimah ia rangkai,dan ayat demi ayat ia lantunkan.Namun tak berapa lama bibir mungil ituberhenti.Hatinya resah.Janji dan kenangan dimasa lalu kembali menghantuinya.Mata lentiknya memandang langit biru,masih teringat jelas kenangan itu,lima tahun lalu.Kala ia duduk di kelas IX MTs Assalafi Brebes.

’’Anak Assalafi... ?’’Sebuah suara yang mengagetkan Naya.Ia menoleh sumber suara itu.Seorang laki-laki tampan berseragam putih abu-abu.
’’Iya...’’Jawabnya dengan senyum,manis sekali.Bis terus melaju.
’’Kelas berapa?’’
’’Kelas IX,kak.....’’membaca bet nama laki-laki itu.
’’Hasan,...’’potong laki-laki itu.Naya tersipu.
’’Kak Hasan sendiri?’’
’’Aku anak Assalafi juga,di MAK-nya’’
’’Kelas berapa?’’
’’Kelas XII,kamu setiap hari naik bis kalau mau berangkat?’’
’’Sebsnarnta saya mondok,tapi lagi pengen di rumah dulu’’
’’Di Assalafi?’’
‘’Iya.’’ ‘’ Kak Hasan setiap hari naik bis?’’
‘’Sebenarnya aku juga mondok di sana,tapi lagi pengen di rumah,sama seperti kamu.’’ ‘’Naya Zulaikhah,nama kamu bagus ya...,’’
Naya tersenyum.Tak berapa lama bis yang mereka naiki berhenti.Merekapun turun.

‘’Naya...!’’Seru sobat-sobat Naya yang sengaja menunggunya.
’’Hai...!’’Balas Naya.’’Aku duluan ya kak,asssalamualaikum...’’Nya berlalu meninggalkan Hasan.
’’Waalaikum salam,’’jawab Hasan.’’Subhanallah...,Naya,nama yang cantik secantik orangnya.’’gumam Hasan tanpa sadar.
’’Woi...assalamualaikum bos...!’’kaget Amir dari belakang.
’’Astaghfirullah Amir.....,waalaikum salam,hobi ya kamu suka ngagetin orang!’’
’’Maaf,pagi-pagi udah ngelamun sih,ke kelas yuk...!’’
’’Untung nggak lari jantungku Mir,kalau sampai lari aku suruh ngejar kamu,’’gerutu Hasan sambil berjalan.
’’He...he...he...,ya kan udah minta maaf,makanya pagi-pagi jangan ngelamun,untung yang nyambet aku,kalau yang nyambet setan lewat bagaimana?’’
Mereka terus berjalan menuju kelas.Tak berapa lama bel berbunyi. Bertanda pelajaran akan segera dimulai.

# # #

Empat jam berlalu tanpa pelajaran.Hampir semua kelas gaduh.Tak biasanya seperti ini.
’’Pengumuman,karena bapak dan ibu guru akan rapat,maka anak-anak bisa belajar di rumah,’’sebuah pengumuman melalui pengeras suara tersebut seketika membuat sekolah menjadi semakin gaduh. Hasan beranjak dari tempat duduknya.

’’San,kapan kamu balik ke pondok?’’tanya Amir,sobat Hasan di kelas dan di pondok.
’’Belum tau,aku masih pengen di rumah’’
’’Jangan lama-lama di rumah,pondok sepi nggak ada kamu’’
Hasan tersenyum,ditepuknya bahu Amir.Sampai di gerbang merekapun berpisah.
’’Aku duluan San,hati-hati di jalan,sampaikan salamku untuk ayah ibumu di rumah,’’ucap Amir sebelum berlalu.
’’Insya Allah,’’jawab Hasan.
Terlihat di seberang jalan Naya berdiri menunggu bis.Hasanpun menghampirinya.
’’Hai Nay...,’’Sapa Hasan.
’’Hai juga kak,’’jawab Naya.
’’Kapan kamu balik ke pondok?’’tanya Hasan
’’Belum tau kak,masih pengen di rumah,tapi mungkin satu minggu aku di rumah.’’
Tak berapa lama bis yang mereka tunggu lewat dan mereka naik. Semakin lama mereka semakin akrab.Ketika masih di rumah mereka selalu berangkat dan pulang bareng.Setelah balik ke pondokpun mereka juga masih akrab,bahkan semakin akrab.

Rabu, 17 Maret 2010

Semua Ada di Tanganku.Revisi

Oleh Ulfatul M

Siang ini mentari terasa membakar tubuhku. Angin berhembus panas menyentuh kulitku membuatku makin malas berjalan menahan asap dan debu yang beterbangan.

“Ukhti Ana...!”
Sebuah suara yang tak asing bagiku. Aku menoleh. Terlihat Anis melambaikan tangan padaku.
“Ya, Allah! Aku lupa menunggu Ukhti Anis!” gumamku.
Aku tersenyum, kutunggu ia di bawah pohon waru. Teriknya matahari yang terbawa udara panas masih saja meraba kulitku.
pat salam lagi dari Akhi Fahmi. Dan buku Ukhti yang kemarin saya pinjam, tadi dip
Tak berapa lama Anis menghampiriku.
“Ukhti tidak les?” tanya Ukhti Anis dengan napas terengeh-engah.
“Tidak, Pak Hadi ada acara jadi lesnya diliburkan,” jawabku.
“Oh ya, Ukhti tadi dainjam Akhi Fahmi. Katanya dia butuh banget, gitu!”
“Alaiki waalaihissalam, buku yang mana, ya?”
“Buku shorof yang kemarin saya pinjam itu, lo!”
“Oh...., tapi buat apa dia pinjam?”
“Ya, saya tidak tahu. Eh, Ukhti salam kembali tidak?”
“Terserah Ukhti Anis saja deh...”
“Kok terserah?”
“Terus gimana? Masa setiap hari ada salam terus? Jangan-jangan Ukhti Anis sendiri yang mengada-ada?”
“Idih...! Siapa yang mengada-ada? Salamnya beneran, kok. Malah, Fahmi sering menanyakan Ukhti Ana.”
“Menanyakan saya?”
“Iya!”


Aku terdiam. Tiba-tiba hatiku resah. Detak jantungku terasa lebih cepat. Aku memang sudah lama digosipkan dengan Akhi Fahmi. Berawal dari Porseni tingkat Jawa Tengah beberapa bulan lalu. Kebetulan untuk MTQ yang menjadi perwakilan Grobogan adalah aku dan dia. Dari peristiwa itulah gosip antara aku dan Akhi Fahmi bermula.

Aku tak tahu, salam-salam yang disampaikan Ukhti Anis itu benar atau tidak. Tapi aku yakin, Ukhti Anis tidak mungkin bohong. Aku tahu betul dengan dia karena kita telah bersahabat sejak kelas tujuh.

Aku cukup terbiasa dengan salam yang disampaikan Ukhti Anis. Namun, tidak untuk hari ini. Tak biasanya Akhi Fahmi meminjam buku orang lain. Ia sangat rajin, disiplin, dan tak pernah ketinggalan pelajaran.
“Tapi untuk apa ia meminjam bukuku?” gumamku dalam hati.

“Ukhti Ana...!
Sebuah suara mengagetkanku. Sumbernya dari belakang. Serentak aku dan Ukhti Anis berhenti.
“Ukhti Aziz, ada apa?” tanyaku pada Gus Aziz. Ya, dia adalah salah satu putra KH. Muhammad Aziz, pendiri pondok pesantren di tempatku menimba ilmu. Kebetulan sejak kelas tujuh sampai kelas sembilan ini kita selalu satu kelas. Tidak mengherankan jika aku dengan Gus Aziz lebih akrab dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Bahkan, Ukhti Anis pun masih malu bila bertemu Akhi Aziz.

“Kamu punya catatan shorof kemarin, tidak?”tanya Gus Aziz.
“Punya, tapi baru dipinjam Akhi Fahmi,”jawabku.
“Iya, memang Akhi Aziz sangat butuh?”
Ia terdiam. Seperti memikirkan sesuatu.
“Akhi, saya bawa catatan shorof. Bagaimana kalau pinjam saya saja,” tanya Ukhti Anis mencoba mengusulkan solusi.
“Ukhti punya? Ya, sudah, saya pinjam Ukhti Anis saja.”
Ukhti Anis mengeluarkan catatan yang dimaksud lalu diberikan kepada Akhi Aziz.
“Terima kasih Ukhti. Insyaallah saya kembalikan besok,” kata Akhi Aziz sambil berlalu meninggalkan kami.

Tak berapa lama kemudian sampailah kami di pondok. Pondok masih terlihat sepi, hanya beberapa santri saja yang sudah pulang. Aku duduk sejenak melepas lelah yang tertahan sejka tadi. Kulepas seragamku dan kurebahkan tubuhku. Jam dinding menunjukkan pukul 13.45. masih cukup waktu bagiku untuk istirahat sampai azan ashar nanti. Kuperhatikan Ukhti Anis yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.

“Wah, wah, sobatku lagi kasmaran, nih?” godaku.
Ia memandangku malu.
“Sama siapa, ya?”
Wajahnya terlihat memerah menahan malu yang mungkin berat.
“Sama Gus Aziz, ya?” tebakku asal-asalan.
Ia terlihat kaget. Wajahnya makin merah. Ah, aku tak tahu apakah Ukhti Anis memendam rasa pada Akhi Aziz. Aku jadi tak tega untuk terus menggodanya.

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya belum sampai aku terlelap, azan ashar berkumandang. Segera aku bangkit untuk memenuhi panggilan-Nya.

Hari ini begitu melelahkan. Kepalaku terasa sedikit pusing. Terpaksa malam ini aku tidak belajar. Sehabis salat isya, sengaja aku langsung istirahat.

Alhamdulillah pagi ini badanku terasa lebih segar. Pusing di kepalaku sudah hilang. Mentari bersinar begitu cerah secerah hatiku. Aku berangkat lebih pagi karena aku harus piket.

Sekolah masih sepi. Hanya beberapa siswa saja yang sudah terlihat di sana. Salah satunya adalah Akhi Fahmi. Dari jauh dia sudah melihat kedatanganku. Ia tersenyum menyambutku.

“Assalamualaikum Ukhti?”
“Waalaikum salam.”
“Oh ya, Ukhti, kemarin saya pinjam buku Uhkti. Dan ini saya kembalikan.”
“Ukhti Anis sudah cerita, kok. Tumben pinjam buku?”
“Ya, masih ada bagian yang belum saya catat,” jawabnya gugup. “Saya ke kelas dulu Ukhti. Assalamualaikum?
“Waalaikumsalam.”

Ia terlihat aneh hari ini. Tidak biasanya ia seperti itu. Aku segera masuk kelas. Sesampai di dalam segera aku letakkan tas di bangkuku. Dan buku shorof itu sebentar kupandangi lalu pelan-pelan kumasukkan ke dalam laci meja. Aku tersentak. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jatuh dari lipatan buku shorof tadi. Ku ambil amplop itu. Ketika aku menundukkan badan hendak mengambil amplop yang jatuh ke lantai, terlihat di laci ada amplop berwarna pink. Hatiku benar-benar tersentak. Dua buah amplop. Amplop apa ini? Satu merah satunya pink. Dengan penasaran dan perasaan tidak menentu kubuka sampul amplop pink dulu. Tampak sebuah surat. Tulisannya rapi. Kubaca pelan-pelan.

Dengan segenap keinginan, keberanian, dan ketulusan
Kutulis hasrat hatiku
Yang telah terpendam sekian lamanya
Sehingga tiada daya lagi diriku memendamnya.

Aku dapat melihat kecantikan jiwamu
Dalam sinar kesabaranmu
Ketulusan dalam senyum indah setiap sapamu
Dan kesetiaan dalam setiap ucapanmu

Setiap malam kupanjatkan doa
Memohon pada sang pemberi rasa
Agar aku bisa tetap melihat, mengharap, dan merasakan sinar jiwamu
Esok dan seterusnya.

Aziz Fatir Al Mubarok

“Akhi Aziz...!” gumamku lirih.
Tubuhku bergetar. Jantungku berdetak makin cepat.
Lalu kubuka amplop merah. Sebuah surat. Tulisannya kecil-kecil rapi.

Dengan memohon ridlo-Nya
Kutulis rasa yang ada
Kepadamu kucurahkan segalanya
Menurut apa hatiku berkata

Rasa ini terus mendera
Tak ada daya batin ini bila tidak kuucapkan
Aku ingin kau mengerti
Katakanlah apa yang hatimu katakan

Jangan kau membisu
Kepastian kan kutunggu
Rasaku kini tlah kau tahu dan biarka aku menanti waktu itu.

Fahmi Maulana Izzi

“Akhi Fahmi...!” kembali aku bergumam lirih.
Aku terduduk. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tak ingin Ukhti Anis tahu tentang hal ini. Aku tahu, ia memendam rasa pada Akhi Aziz. Dan kini mengapa Akhi Aziz mencurahkan perasaannya padaku?

Ya, Allah berikanlah hambamu ini jalan untuk dapat menyelesaikan masalah ini. Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung lagi.

* * *

Hatiku benar-benar bimbang. Selama pelajaran pada hari itu tidak ada satu pun yang aku pahami. Di dalam otakku hanya ada surat, surat, dan surat. Aku harus mengambil keputusan. Otakku tak mau diajak berpikir. Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing. Kulangkahkan kakiku keluar. Tujuanku adalah ke kamar mandi. Aku ingin mencuci muka untuk mendinginkan wajahku.

Keluar dari kamar mandi wajahku sedikit lebih segar. Aku melangkah kembali ke kelas. Di tengah kegelisahanku tiba-tiba aku tersentak melihat Ukhti Anis memegang sampul surat berwarna pink dari Akhi Aziz. Apakah surat itu telah dibaca oleh Ukhti Anis? Aduh, mengapa jadi begini?

“Ukhti, tadi ....” ucapku tersendat.
“Tadi Ukhti ditembak Akhi Aziz?” potongnya cepat.
“Tapi,....”
“Tapi, kenapa Ukhti tidak cerita kepada saya?” potongnya lagi.
Aku bingung harus bagaimana. Ukhti Anis memegang kedua tanganku. Kami berhadap-hadapan. Aku tak sanggup menatap wajahnya.

“Ukhti, Ukhti menganggap saya apa? Kenapa Ukhti tega? Saya selalu berusaha menjaga perasaan Ukhti. Saya tak tega menyakiti hati Ukhti. Namun, mengapa Ukhti tega menyayat-nyayat hati saya?” katanya sambil mengguncang-guncangkan tanganku.

Aku masih merasakan tatapan Ukhti Anis. Dia terisak. Tanganku dilepasnya. Dia kemudian duduk. Air matanya masih mengalir deras. Aku duduk di sampingnya. Tak sanggup berkata.. Rasanya aku ingin menjelaskan masalah ini kepadanya, tetapi mengapa lidahku kelu. Tak satu pun kata keluar dari mulutku. Bibirku seperti terkunci. Pikiranku masih tak tenang. Aku berusaha menguasai diri.

Aku tak bisa menerima cinta Akhi Aziz. Sahabatku telah mencintainya. Ya, Allah berikanlah hamba-Mu jalan....

Aku harus menentukan sikap. Aku tidak ingin persahabatanku dengan Ukhti Anis putus hanya karena mencintai orang yang sama. Aku memang memendam rasa pada Akhi Aziz. Namun, biarlah itu menjadi cinta di dalam hati.

Akhirnya, di atas kertas putih kutulis kepastian itu.

Persahabatan tlah kita jalani
Susah senang kita rasakan bersama
Aku ingin ikatan ini terus abadi
Cinta sahabat sepanjang masa

Jangan kau harap cinta kasihku
Aku tak bisa berikan itu
Yang kubisa hanya cinta sahabat
Seumur hidup sepanjang hayat

Cukup jelas kepastian ini
Menjawab segala bimbing di hati
Aku yakin kau bisa pahami
Bila jodoh di saat nanti

Nifa Annadia


Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam amplop pink. Segera kuletakkan amplop itu ke dalam laci Akhi Aziz. Tidak ada yang tahu. Saat itu, sekolah sudah sepi. Tinggal aku sendiri yang belum pulang.

Kembali aku menulis kepastian. Untuk menjawab perasaan Akhi Fahmi.

Aku kan katakan apa yang hatiku katakan
Di atas kertas putih ini kan kutulis kepastian
Kucoba mengerti apa yang kau rasakan
Dari apa yang tlah kau curahkan

Aku ingin yang terbaik
Hatiku tak bisa katakan “iya”
Kau pun tak ingin ada dusta
Bila kupaksa untuk bersama

Kamu kan dapatkan yang lebih baik
Pasangan hatimu yang kau tunggu
Percayalah pada cinta sejati
Yang kan datang di saat nanti

Nifa Annadia


Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam amplop merah.
Setelah hatiku agak tenang. Kuputuskan untuk pulang sebelumnya aku masuki kelas Akhi Fahmi dan kuletakkan amplop itu di lacinya.

Sampai di pondok, Ukhti Anis terlihat masih marah. Namun, harus tetap kuhadapi. Aku harus menjelaskan semuanya. Ukhti Anis percaya atau tidak kupasrahkan semuanya kepada Allah.

“Ukhti Anis, berilah saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” pintaku padanya.
“Sudahlah Ukhti, saya ikhlas, kok. Toh, saya juga bukan siapa-siapanya Akhi Aziz,” katanya tanpa menoleh.
“Ukhti, Akhi Aziz memang menembak saya, tapi saya tidak bisa membalas perasaannya. Aku ingin dia tetap menjadi sahabat, bukan pacar.”
Aku diam. Ia juga terdiam.
Aku dekati Ukhti Anis yang sedari tadi memandang ke luar jendela. Jilbabnya yang merah berkibar-kibar terkena angin.

“Ukhti, percayalah, saya tidak mempunyai rasa pada Akhi Aziz. Dan dia akan tetap menjadi sahabatku.”
Dia berbalik. Menatapku. Seketika dia memelukku. Dia menangis. Air matanya mengalir. Kami berangkulan. Aku merasa lega. Ukhti Anis telah bisa menerima penjelasanku.

“Ukhti, maafkan saya karena telah salah paham terhadap Ukhti. Saya terlalu egois padahal saya semestinya tidak berhak marah.”
Kulepas pelukannya. Kupegang kedua tangannya lalu kutatap lekat-lekat wajah Ukhti Anis.
“Sudahlah, yang penting semua sudah jelas.”
Dia mengangguk-angguk.
“Sudah tidak ada salah paham lagi.Marahnya sudah hilang kan?” godaku.
“Ah, Ukhti Ana jahat...!” katanya dan mencubit pinggangku. Dia tertawa-tawa.
“Aduh, sakit tahu!” kataku sambil menghindar. Aku berusaha tersenyum.

Alhamdulillah ya Allah telah Kau berikan jalan keluar masalah ini ...

Jumat, 12 Maret 2010

Semua Ada di Tanganku (Siklus 2)

Oleh Ulfatul M

Siang ini mentari terasa membakar tubuhku. Angin berhembus panas menyentuh kulitku membuatku makin malas berjalan menahan asap dan debu yang beterbangan.

“Ukhti Ana...!”
Sebuah suara yang tak asing bagiku. Aku menoleh. Terlihat Anis melambaikan tangan padaku.
“Ya, Allah! Aku lupa menunggu Ukhti Anis!” gumamku.
Aku tersenyum, kutunggu ia di bawah pohon waru. Teriknya matahari yang terbawa udara panas masih saja meraba kulitku.
pat salam lagi dari Akhi Fahmi. Dan buku Ukhti yang kemarin saya pinjam, tadi dip
Tak berapa lama Anis menghampiriku.
“Ukhti tidak les?” tanya Ukhti Anis dengan napas terengeh-engah.
“Tidak, Pak Hadi ada acara jadi lesnya diliburkan,” jawabku.
“Oh ya, Ukhti tadi dainjam Akhi Fahmi. Katanya dia butuh banget, gitu!”
“Alaiki waalaihissalam, buku yang mana, ya?”
“Buku shorof yang kemarin saya pinjam itu, lo!”
“Oh...., tapi buat apa dia pinjam?”
“Ya, saya tidak tahu. Eh, Ukhti salam kembali tidak?”
“Terserah Ukhti Anis saja deh...”
“Kok terserah?”
“Terus gimana? Masa setiap hari ada salam terus? Jangan-jangan Ukhti Anis sendiri yang mengada-ada?”
“Idih...! Siapa yang mengada-ada? Salamnya beneran, kok. Malah, Fahmi sering menanyakan Ukhti Ana.”
“Menanyakan saya?”
“Iya!”


Aku terdiam. Tiba-tiba hatiku resah. Detak jantungku terasa lebih cepat. Aku memang sudah lama digosipkan dengan Akhi Fahmi. Berawal dari Porseni tingkat Jawa Tengah beberapa bulan lalu. Kebetulan untuk MTQ yang menjadi perwakilan Grobogan adalah aku dan dia. Dari peristiwa itulah gosip antara aku dan Akhi Fahmi bermula.

Aku tak tahu, salam-salam yang disampaikan Ukhti Anis itu benar atau tidak. Tapi aku yakin, Ukhti Anis tidak mungkin bohong. Aku tahu betul dengan dia karena kita telah bersahabat sejak kelas tujuh.

Aku cukup terbiasa dengan salam yang disampaikan Ukhti Anis. Namun, tidak untuk hari ini. Tak biasanya Akhi Fahmi meminjam buku orang lain. Ia sangat rajin, disiplin, dan tak pernah ketinggalan pelajaran.
“Tapi untuk apa ia meminjam bukuku?” gumamku dalam hati.

“Ukhti Ana...!
Sebuah suara mengagetkanku. Sumbernya dari belakang. Serentak aku dan Ukhti Anis berhenti.
“Ukhti Aziz, ada apa?” tanyaku pada Gus Aziz. Ya, dia adalah salah satu putra KH. Muhammad Aziz, pendiri pondok pesantren di tempatku menimba ilmu. Kebetulan sejak kelas tujuh sampai kelas sembilan ini kita selalu satu kelas. Tidak mengherankan jika aku dengan Gus Aziz lebih akrab dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Bahkan, Ukhti Anis pun masih malu bila bertemu Akhi Aziz.

“Kamu punya catatan shorof kemarin, tidak?”tanya Gus Aziz.
“Punya, tapi baru dipinjam Akhi Fahmi,”jawabku.
“Iya, memang Akhi Aziz sangat butuh?”
Ia terdiam. Seperti memikirkan sesuatu.
“Akhi, saya bawa catatan shorof. Bagaimana kalau pinjam saya saja,” tanya Ukhti Anis mencoba mengusulkan solusi.
“Ukhti punya? Ya, sudah, saya pinjam Ukhti Anis saja.”
Ukhti Anis mengeluarkan catatan yang dimaksud lalu diberikan kepada Akhi Aziz.
“Terima kasih Ukhti. Insyaallah saya kembalikan besok,” kata Akhi Aziz sambil berlalu meninggalkan kami.

Tak berapa lama kemudian sampailah kami di pondok. Pondok masih terlihat sepi, hanya beberapa santri saja yang sudah pulang. Aku duduk sejenak melepas lelah yang tertahan sejka tadi. Kulepas seragamku dan kurebahkan tubuhku. Jam dinding menunjukkan pukul 13.45. masih cukup waktu bagiku untuk istirahat sampai azan ashar nanti. Kuperhatikan Ukhti Anis yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.

“Wah, wah, sobatku lagi kasmaran, nih?” godaku.
Ia memandangku malu.
“Sama siapa, ya?”
Wajahnya terlihat memerah menahan malu yang mungkin berat.
“Sama Gus Aziz, ya?” tebakku asal-asalan.
Ia terlihat kaget. Wajahnya makin merah. Ah, aku tak tahu apakah Ukhti Anis memendam rasa pada Akhi Aziz. Aku jadi tak tega untuk terus menggodanya.

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya belum sampai aku terlelap, azan ashar berkumandang. Segera aku bangkit untuk memenuhi panggilan-Nya.

Hari ini begitu melelahkan. Kepalaku terasa sedikit pusing. Terpaksa malam ini aku tidak belajar. Sehabis salat isya, sengaja aku langsung istirahat.

Alhamdulillah pagi ini badanku terasa lebih segar. Pusing di kepalaku sudah hilang. Mentari bersinar begitu cerah secerah hatiku. Aku berangkat lebih pagi karena aku harus piket.

Sekolah masih sepi. Hanya beberapa siswa saja yang sudah terlihat di sana. Salah satunya adalah Akhi Fahmi. Dari jauh dia sudah melihat kedatanganku. Ia tersenyum menyambutku.

“Assalamualaikum Ukhti?”
“Waalaikum salam.”
“Oh ya, Ukhti, kemarin saya pinjam buku Uhkti. Dan ini saya kembalikan.”
“Ukhti Anis sudah cerita, kok. Tumben pinjam buku?”
“Ya, masih ada bagian yang belum saya catat,” jawabnya gugup. “Saya ke kelas dulu Ukhti. Assalamualaikum?
“Waalaikumsalam.”

Ia terlihat aneh hari ini. Tidak biasanya ia seperti itu. Aku segera masuk kelas. Sesampai di dalam segera aku letakkan tas di bangkuku. Dan buku shorof itu sebentar kupandangi lalu pelan-pelan kumasukkan ke dalam laci meja. Aku tersentak. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jatuh dari lipatan buku shorof tadi. Ku ambil amplop itu. Ketika aku menundukkan badan hendak mengambil amplop yang jatuh ke lantai, terlihat di laci ada amplop berwarna pink. Hatiku benar-benar tersentak. Dua buah amplop. Amplop apa ini? Satu merah satunya pink. Dengan penasaran dan perasaan tidak menentu kubuka sampul amplop pink dulu. Tampak sebuah surat. Tulisannya rapi. Kubaca pelan-pelan.

Dengan segenap keinginan, keberanian, dan ketulusan
Kutulis hasrat hatiku
Yang telah terpendam sekian lamanya
Sehingga tiada daya lagi diriku memendamnya.

Aku dapat melihat kecantikan jiwamu
Dalam sinar kesabaranmu
Ketulusan dalam senyum indah setiap sapamu
Dan kesetiaan dalam setiap ucapanmu

Setiap malam kupanjatkan doa
Memohon pada sang pemberi rasa
Agar aku bisa tetap melihat, mengharap, dan merasakan sinar jiwamu
Esok dan seterusnya.

Aziz Fatir Al Mubarok

“Akhi Aziz...!” gumamku lirih.
Tubuhku bergetar. Jantungku berdetak makin cepat.
Lalu kubuka amplop merah. Sebuah surat. Tulisannya kecil-kecil rapi.

Dengan memohon ridlo-Nya
Kutulis rasa yang ada
Kepadamu kucurahkan segalanya
Menurut apa hatiku berkata

Rasa ini terus mendera
Tak ada daya batin ini bila tidak kuucapkan
Aku ingin kau mengerti
Katakanlah apa yang hatimu katakan

Jangan kau membisu
Kepastian kan kutunggu
Rasaku kini tlah kau tahu dan biarka aku menanti waktu itu.

Fahmi Maulana Izzi

“Akhi Fahmi...!” kembali aku bergumam lirih.
Aku terduduk. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tak ingin Ukhti Anis tahu tentang hal ini. Aku tahu, ia memendam rasa pada Akhi Aziz. Dan kini mengapa Akhi Aziz mencurahkan perasaannya padaku?

Ya, Allah berikanlah hambamu ini jalan untuk dapat menyelesaikan masalah ini. Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung lagi.

* * *

Hatiku benar-benar bimbang. Selama pelajaran pada hari itu tidak ada satu pun yang aku pahami. Di dalam otakku hanya ada surat, surat, dan surat. Aku harus mengambil keputusan. Otakku tak mau diajak berpikir. Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing. Kulangkahkan kakiku keluar. Tujuanku adalah ke kamar mandi. Aku ingin mencuci muka untuk mendinginkan wajahku.

Keluar dari kamar mandi wajahku sedikit lebih segar. Aku melangkah kembali ke kelas. Di tengah kegelisahanku tiba-tiba aku tersentak melihat Ukhti Anis memegang sampul surat berwarna pink dari Akhi Aziz. Apakah surat itu telah dibaca oleh Ukhti Anis? Aduh, mengapa jadi begini?

“Ukhti, tadi ....” ucapku tersendat.
“Tadi Ukhti ditembak Akhi Aziz?” potongnya cepat.
“Tapi,....”
“Tapi, kenapa Ukhti tidak cerita kepada saya?” potongnya lagi.
Aku bingung harus bagaimana. Ukhti Anis memegang kedua tanganku. Kami berhadap-hadapan. Aku tak sanggup menatap wajahnya.

“Ukhti, Ukhti menganggap saya apa? Kenapa Ukhti tega? Saya selalu berusaha menjaga perasaan Ukhti. Saya tak tega menyakiti hati Ukhti. Namun, mengapa Ukhti tega menyayat-nyayat hati saya?” katanya sambil mengguncang-guncangkan tanganku.

Aku masih merasakan tatapan Ukhti Anis. Dia terisak. Tanganku dilepasnya. Dia kemudian duduk. Air matanya masih mengalir deras. Aku duduk di sampingnya. Tak sanggup berkata.. Rasanya aku ingin menjelaskan masalah ini kepadanya, tetapi mengapa lidahku kelu. Tak satu pun kata keluar dari mulutku. Bibirku seperti terkunci. Pikiranku masih tak tenang. Aku berusaha menguasai diri.

Aku tak bisa menerima cinta Akhi Aziz. Sahabatku telah mencintainya. Ya, Allah berikanlah hamba-Mu jalan....

Aku harus menentukan sikap. Aku tidak ingin persahabatanku dengan Ukhti Anis putus hanya karena mencintai orang yang sama. Aku memang memendam rasa pada Akhi Aziz. Namun, biarlah itu menjadi cinta di dalam hati.

Akhirnya, di atas kertas putih kutulis kepastian itu.

Persahabatan tlah kita jalani
Susah senang kita rasakan bersama
Aku ingin ikatan ini terus abadi
Cinta sahabat sepanjang masa

Jangan kau harap cinta kasihku
Aku tak bisa berikan itu
Yang kubisa hanya cinta sahabat
Seumur hidup sepanjang hayat

Cukup jelas kepastian ini
Menjawab segala bimbing di hati
Aku yakin kau bisa pahami
Bila jodoh di saat nanti

Nifa Annadia


Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam amplop pink. Segera kuletakkan amplop itu ke dalam laci Akhi Aziz. Tidak ada yang tahu. Saat itu, sekolah sudah sepi. Tinggal aku sendiri yang belum pulang.

Kembali aku menulis kepastian. Untuk menjawab perasaan Akhi Fahmi.

Aku kan katakan apa yang hatiku katakan
Di atas kertas putih ini kan kutulis kepastian
Kucoba mengerti apa yang kau rasakan
Dari apa yang tlah kau curahkan

Aku ingin yang terbaik
Hatiku tak bisa katakan “iya”
Kau pun tak ingin ada dusta
Bila kupaksa untuk bersama

Kamu kan dapatkan yang lebih baik
Pasangan hatimu yang kau tunggu
Percayalah pada cinta sejati
Yang kan datang di saat nanti

Nifa Annadia


Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam amplop merah.
Setelah hatiku agak tenang. Kuputuskan untuk pulang sebelumnya aku masuki kelas Akhi Fahmi dan kuletakkan amplop itu di lacinya.

Sampai di pondok, Ukhti Anis terlihat masih marah. Namun, harus tetap kuhadapi. Aku harus menjelaskan semuanya. Ukhti Anis percaya atau tidak kupasrahkan semuanya kepada Allah.

“Ukhti Anis, berilah saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” pintaku padanya.
“Sudahlah Ukhti, saya ikhlas, kok. Toh, saya juga bukan siapa-siapanya Akhi Aziz,” katanya tanpa menoleh.
“Ukhti, Akhi Aziz memang menembak saya, tapi saya tidak bisa membalas perasaannya. Aku ingin dia tetap menjadi sahabat, bukan pacar.”
Aku diam. Ia juga terdiam.
Aku dekati Ukhti Anis yang sedari tadi memandang ke luar jendela. Jilbabnya yang merah berkibar-kibar terkena angin.

“Ukhti, percayalah, saya tidak mempunyai rasa pada Akhi Aziz. Dan dia akan tetap menjadi sahabatku.”
Dia berbalik. Menatapku. Seketika dia memelukku. Dia menangis. Air matanya mengalir. Kami berangkulan. Aku merasa lega. Ukhti Anis telah bisa menerima penjelasanku.

“Ukhti, maafkan saya karena telah salah paham terhadap Ukhti. Saya terlalu egois padahal saya semestinya tidak berhak marah.”
Kulepas pelukannya. Kupegang kedua tangannya lalu kutatap lekat-lekat wajah Ukhti Anis.
“Sudahlah, yang penting semua sudah jelas.”
Dia mengangguk-angguk.
“Sudah tidak ada salah paham lagi.Marahnya sudah hilang kan?” godaku.
“Ah, Ukhti Ana jahat...!” katanya dan mencubit pinggangku. Dia tertawa-tawa.
“Aduh, sakit tahu!” kataku sambil menghindar. Aku berusaha tersenyum.

Alhamdulillah ya Allah telah Kau berikan jalan keluar masalah ini ...

* * *

Jumat, 26 Februari 2010

RINDU YANGT MENDERA

SANG PUJAAN...
INGATKAH KAU DI SEBERANG SANA
KEPADAKU YANG MERINDUKANMU
YANG TAK BISA LUPAKSNMU WALAU SEJENAK SAJA

SANG PUJAAN...
RINDUKAH KAU DI SANA
KEPADAKU YANG GELISAH MEMIKIRKANMU
YANG TAK BISA SEDIKITPUN HAPUS BAYANGMU
HINGGA WAJAHMU TERUS MENGHANTUIKU

KHAYALKU MEMANG SEMU
HARAPKU MEMANG PALSU
TAK BISA AKU DAPATKAN CINTAMU
KARNA CINTAMU TAK TERCIPTA UNTUKKU

HATIKU BEGITU RESAH
MEMENDAM RINDU PENUH GELISAH
TERKADANG RINDU DATANG MENDERA
MENJADI SATU BERSAMA RASA

ANGIN MALAM
BAWALAH RINDU INI
BERIKAN KEPADANYA
AGAR IA MERASAKANNYA

Semua Karna Ibu (revisi)

Siang yang panas.Anak sekolah,kendaraan,semua memenuhi jalan.Aku berjalan menyusuri gang,menghindar dari asap dan debu yang beterbangan.Terik matahari membuat ubun – ubunku terasa mendidih.Saat pulang sekolah seperti ini memang melelahkan.Namun tidak hari ini, lelah tak terlalu kurasa kala Pak Dlofir,guru fisikaku mengumumkan bahwa aku terpilih untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat Jawa Tengah.

Langkahku kupercepat,ingin segera aku menemui ibu dan menceritakan kabar gembira ini.Aku setengah berlari,serasa tak sabar ingin bertemu ibu.

‘’Bu,ibu…Ratih pulang bu…’’Teriakku sampai di depan rumah.
‘’Ada apa Ratih,kok teriak – teriak,buat ibu kaget aja,’’
‘’Ratih terpilih ikut olimpiade fisika tingkat jawa tengah bu…’’
‘’Alhamdulillah…,anak ibu bisa ikut,kapan nak?’’
‘’Lusa bu…’’
‘’Belajar yang rajin,jangan sia-siakan kesempatan ini ‘’
‘’Iya bu,Ratih janji akan berusaha agar nanti bisa bawa piala untuk ibu,’’
‘’Sekarang kamu ganti baju dulu lalu makan ‘’
Aku menurut,ku ganti bajuku dan makan.

Waktuku kuhabiskan untuk belajar.Ibu selalu menyegahku setiap aku mau membantunya mencuci baju atau menyetrika pakaian tetangga yang ia cuci.

‘’Sudah,Ratih belajar aja,nggak usah Bantu ibu dulu’’tuturnya.
Bahkan,setiap malam ibu tak pernah absen menemaniku belajar.Seperti malam ini,malam terakhirku belajar materi olimpiade,karena besok aku sudah lomba.Dengan menjahit seragamku yang akan kupakai besok,ibu menemaniku belajar,hingga ia ketiduran.

Keningku mengkerut,kala kuperhatikan wajah ibu yang pucat
dan tubuhnya yang semakin kurus.Di tangannya masih menggenggam seragamku,yang belum selesai ibu jahit.

‘’Bu…,ibu pindah ke kamar aja,di sini dingin’’dengan hati-hati kucoba membangunkannya.
‘’Hhhh,maaf nak ibu ketiduran,kamu udah selesai belajarnya?’’
‘’Ratih bentar lagi,ibu tidur aja’’
‘’Ibu tidurnya nanti,ibu mau temenin Ratih belajar,sekalian nyelesaiin jahitannya,besok,Ratih pakai apa?’’
‘’Tapi bu…’’
‘’Udah,kamu belajar aja,ibu tidur nanti’’
‘’Tapi kalau ibu udah capek ibu langsung tidur ya…’’
‘’Ya,Ratih juga,jangan malem-malem belajarnya,ntar sakit,besok malah nggak jadi lomba.’’
Aku tersenyum,kulanjutkan belajarku.Wajah ibu tambah pucat,semakin hari batuk ibu juga semakin keras.Hatiku pun menjadi resah.

‘’Besok ibu pergi ke puskesmas ya…,biar dapat obat’’
‘’Ibu nggak papa kok,cuma batuk biasa nanti juga sembuh sendiri’’
‘’Tapi semakin hari batuk ibu semakin keras,kalau nggak segera diobati bisa berbahaya bu…’’
‘’Iya,besok ibu periksa ke puskesmas’’
Aku tersenyum lega,kurapikan buku-bukuku dan mengajak ibu tidur.

* * *

Akhirnya,waktu yang kutunggu datang juga.Hari ini adalah hari aku lomba.Aku berangkat lebih pagi karena tempat aku lomba cukup jauh.

Pagi ini hatiku terasa gelisah,batuk ibu yang semakin keras membuatku jadi khawatir.

‘’Bu,Ratih mau berangkat’’panggilku ketika ibu di belakang.
‘’Iya nak sebentar…’’jawab ibu dengan sedikit lari menemuiku.
‘’Bu,di pipi ibu,kok… ada darah?’’tanyaku heran.
‘’Mana…?,mungkin nyamuk tadi’’ jawab ibu gugup.
‘’Bu,doakan Ratih ya,agar bisa membawa piala untuk ibu.’’
‘’Pasti nak,ibu selalu mendoakanmu’’Air mata ibu menetes.
‘’Bu,tunggu ratih ya…,ratih akan bawa piala untuk ibu.’’
‘’iya nak,ibu akan menunggu anak ibu,selalu.’’
Kucium tangan ibu dank upeluk ibu.Terasa ada rindu yang mendalam di hatiku.Serasa akan ada yang hilang dari ibu,namun segera kubuang jauh pikiran itu.

Aku berangkat,ibu tetap berdiri di depan pintu,memandangku sampai aku di tikungan jalan dan tak terlihat lagi.Setibanya di sekolah pak Dlofir langsung memanggilku untuk berkumpul dengan yang lain.Tak beberapa lama,kami pun berangkat.Karena tempatnya yang cukup jauh,perjalanan memakan waktu tiga jam.

Sampai di Pati,tempatku lomba,Pak Dlofir langsung mendaftar.Diam-diam aku bangga bisa mewakili sekolahku.
Tak berapa lama setelah mendaftar,tes pun dimulai.Beberapa pandangan tertuju kepadaku,dari ujung kaki sampai ujung kepala terus mereka pandangi,mungkin karena sepatuku yang sudah rusak,seragamku yang lusuh,dan tasku yang terlihat jahitan tangan ibu dengan warna benang yang berbeda,sehingga mungkin penampilanku tidak meyakinkan,tidak seperti mereka yang terlihat rapi,aku memang sedikit minder,tapi aku tak boleh pesimis,’’jangan pernah pesimis,apalagi putus asa,orang yang pesimis dan putus asa tak akan pernah berhasil.’’itulah kata-kata ibu yang selalu kupegang.Aku mencoba untuk tetap biasa,kucari tempat duduk dan kukerjakan soal yang telah diberikan pengawas.Alhamdulillah,aku mengerjakan dengan lancar.
Beberapa jam aku dan rombonganku menunggu pengumuman .Setelah diumumkan,alangkah bahagianya hatiku ketika melihat namaku,RATIH NURYANI dari MTs Al-Fatah Grobogan tertulis paling atas.Ya,aku dapat memenangkan ini.Air mataku menetes,pikiranku tertuju pada ibu.’’Bu,ratih berhasil,ratih akan bawa piala untuk ibu,tunggu ratih bu,sebentar lagi ratih pulang,’’ucapku dalam hati.
Setelah tau hasilnya,rombongan kami langsung pulang.Hatiku sudah tak sabar ingin menunjukkan piala ini pada ibu.Akhirnya,setelah tiga jam perjalanan,sampai juga rombongan kami.Aku meminta turun di gang rumahku.Aku lari secepat mungkin,tak sabar hatiku ingin menunjukkan piala yang aku bawa untuk ibu.Tapi,betapa terkejutnya hatiku,melihat tetangga-tetangga mengerumuni rumahku.Jantungku berdetak semakin keras ketika terdengar lantunan surat yasin.

‘’Bu…,ibu…,Ratih pulang bu…’’Teriakku saat masuk rumah.Hatiku semakin hancur kala melihat tubuh ibu membujur tsk bernyawa.

‘’Bu,katanyanya mau nunggu ratih di depan pintu,kok ibu tidur,’’ucapku masih tak percaya.
‘’Bu,Ratih lihat bu,Ratih berhasil,Ratih bawa piala untuk ibu,’’
‘’Bu,kenapa ibu diam,jawab bu,jawab Ratih…’’
‘’Ratih,sabar nak,biarkan ibumu pergi dengan tenang,semua ini takdir’’tutur bu siti tetangga dekatku.
‘’Ibu nggak mati,ibu udah janji mau nunggu Ratih pulang bawa piala untuk ibu,’’
‘’Ia Ratih,tapi kamu harus sadar,kalau ibumu sudah pergi,’’

Bu Siti mendekapku,aku terus menangis dalam dekapnya.Ia tak berhenti menenangkanku,hingga ia menjelaskan semuanya.

‘’Tadi,sebelum ibumu pergi ia titip ini untukmu.’’Bu siti menyodorkan sebuah amplop padaku.Kuterima amplop itu dan kubaca.


Untuk anak ibu tercinta,
Ratih Nuryani

Ratih…
Ibu yakin,kamu pasti pulang dengan membawa piala untuk ibu,ibu bangga nak.Belajar yang rajin biar pintar dan jadi orang sukses.Jangan seperti ibu,jadi orang bodoh dan tak bias buat Ratih bahagia,
Ratih jangan sedih nak,…
Walaupun saat kamu pulang membawa piala itu ibu sudah tak ada,tapi ibu akan selalu ada di hati ratih.Ratih harus tetap sekolah,bu siti yang akan mengurusmu.Jangan pernah pesimis,apalagi putus asa,orang pesimis dan putus asa tidak akan pernah berhasil.
Ratih harus bisa,ratih harus sukses dan bisa berguna bagi siapa saja.Doakan ibu yang jauh dari ratih,ibu tunggu doa anak ibu selalu.


Ibu

Air mataku semakin deras mengalir.Ku dekap erat surat ibu,hingga basah oleh air mata yang terus mengalir deras.
‘’Ratih,ibumu mengidap penyakit kanker hati,ibumu tak punya biaya untuk berobat.Ibumu merahasiakannya padamu karena ia tak ingin melihat kamu sedih,’’tutur bu siti yang dari tadi ada di sampingku.
‘’Sekarang kamu tinggal bersama Bu Siti,karena ibumu sudah menitipkan kamu pada ibu,’’
Aku terdiam,tak kusangka ibu memendam rahasia ini padaku.

Semua sudah terjadi,tak ada gunanya lagi aku menyesali,walaupun hati belum bisa menerima.

Sejak saat itu aku tinggal dengan ibu siti.Ia seorang janda dan tak mempunyai anak.Dengan warisan yang ditinggal suaminya,ia membiayai sekolahku sampai perguruan tinggi.Prestasi demi prestasi kuperoleh,dan sekarang aku sudah menjadi dokter.

‘’Bu,sekarang Ratih udah berhasil,Ratih udah jadi dokter,seandainya ibu masih ada,pasti ibu bangga lihat Ratih,semua ini karena ibu,’’ucapku di atas nisan ibu.

Rabu, 24 Februari 2010

SEMUA KARNA IBU

cerpen karya:Ulfatul M IX @

Siang yang panas.Anak sekolah,kendaraan,semua memenuhi jalan.Aku berjalan menyusuri gang,menghindar dari asap dan debu yang beterbangan.Terik matahari membuat ubun – ubunku terasa mendidih.Saat pulang sekolah seperti ini memang melelahkan.Namun tidak hari ini,rasa lelah serasa hilang kala Pak Dlofir,guru fisikaku mengumumkan bahwa aku terpilih untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat Jawa Tengah.

Langkahku kupercepat,ingin segera aku menemui ibu dan menceritakan kabar gembira ini.Aku setengah berlari,serasa tak sabar ingin bertemu ibu.

‘’Bu,ibu…Ratih pulang bu…’’Teriakku sampai di depan rumah.
‘’Ada apa Ratih,kok teriak – teriak,buat ibu kaget aja,’’
‘’Ratih terpilih ikut olimpiade fisika tingkat jawa tengah bu…’’
‘’Alhamdulillah…,anak ibu bisa ikut,kapan nak?’’
‘’Lusa bu…’’
‘’Belajar yang rajin,jangan sia-siakan kesempatan ini ‘’
‘’Iya bu,Ratih janji akan berusaha agar nanti bisa bawa piala untuk ibu,’’
‘’Sekarang kamu ganti baju dulu lalu makan ‘’
Aku menurut,ku ganti bajuku dan makan.

Waktuku kuhabiskan untuk belajar.Ibu menyegahku saat aku mau membantunya menyetrika pakaian tetangga yang ia cuci.

‘’Sudah,Ratih belajar aja,nggak usah Bantu ibu dulu’’tuturnya.
Bahkan,setiap malam ibu selalu menemaniku belajar.Seperti malam ini,malam terakhirku belajar materi olimpiade,karena besok aku sudah lomba.Dengan menjahit seragamku yang akan kupakai besok,ibu menemaniku belajar sampai ia ketiduran.

Keningku mengkerut,kala kuperhatikan wajah ibu yang pucat
dan tubuhnya yang semakin kurus.

‘’Bu…,ibu pindah ke kamar aja,di sini dingin’’dengan hati-hati kucoba membangunkannya.
‘’Hhhh,maaf nak ibu ketiduran,kamu udah selesai belajarnya?’’
‘’Ratih bentar lagi,ibu tidur aja’’
‘’Ibu tidurnya nanti,ibu mau temenin Ratih belajar,sekalian nyelesaiin jahitannya,besok,Ratih pakai apa?’’
‘’Tapi bu…’’
‘’Udah,kamu belajar aja,ibu tidur nanti’’
‘’Tapi kalau ibu udah capek ibu langsung tidur ya…’’
‘’Ya,Ratih juga,jangan malem-malem belajarnya,ntar sakit,besok malah nggak jadi lomba.’’
Aku tersenyum,kulanjutkan belajarku.Wajah ibu tambah pucat,semakin hari batuk ibu juga semakin keras.Hatiku pun menjadi resah.

‘’Besok ibu pergi ke puskesmas ya…,biar dapat obat’’
‘’Ibu nggak papa kok,cuma batuki biasa nanti juga sembuh sendiri’’
‘’Tapi semakin hari batuk ibu semakin keras,kalau nggak segera diobati bisa berbahaya bu…’’
‘’Iya,besok ibu periksa ke puskesmas’’
Aku tersenyum lega,kurapikan buku-bukuku dan mengajak ibu tidur.

* * *

Akhirnya,waktu yang kutunggu datang juga.Hari ini adalah hari aku lomba.Aku berangkat lebih pagi karena tempat aku lomba cukup jauh.

Pagi ini hatiku terasa gelisah,batuk ibu yang semakin keras membuatku jadi khawatir.

‘’Bu,Ratih mau berangkat’’panggilku ketika ibu di belakang.
‘’Iya nak sebentar…’’jawab ibu dengan sekit lari menemuiku.
‘’Bu,di pipi ibu kok ada darah?’’tanyaku heran.
‘’Mana…?,mungkin nyamuk tadi’’ jawab ibu gugup.
‘’Bu,doakan Ratih ya,agar bisa membawa piala untuk ibu.’’
‘’Pasti nak,ibu selalu mendoakanmu’’Air mata ibu menetes.
Kucium tangan ibu dank upeluk ibu.Terasa ada rindu yang mendalam di hatiku.Seakan aku ibu akan meninggalkanku.Namun segera kubuang jauh pikiran itu.

Aku berangkat,sampai di sekolah pak Dlofir langsung memanggilku untuk berkumpul dengan yang lain.Tak beberapa lama,kami pun berangkat.Perjalanan memakan waktu tiga jam.

Sampai di Pati,tempatku lomba,Pak Dlofir langsung mendaftar.Diam-diam aku bangga bisa mewakili sekolahku.
Tak berapa lama setelah mendaftar,tespun dimulai.Alhamdulillah,aku mengerjakan dengan lancar.
Beberapa jam kita menunggu pengumuman .Setelah diumumkan,alangkah bahagianya hatiku ketika melihat namaku,RATIH NURYANI dari MTs Al-Fatah Grobogan tertulis paling atas.Ya,aku dapat memenangkan ini.Air mataku menetes,pikiranku tertuju pada ibu.
Setelah tau hasilnya,rombongan kami langsung pulang.Hatiku sudah tak sabar ingin menunjukkan piala ini pada ibu.Akhirnya,setelah tiga jam perjalanan,sampai juga rombongan kami.Aku meminta turun di gang rumahku.Aku lari secepat mungkin,tak sabar hatiku ingin menunjukkan piala yang aku bawa untuk ibu.Tapi,betapa terkejutnya hatiku,melihat tetangga-tetangga mengerumuni rumahku.Jantungku berdetak semakin keras ketika terdengar lantunan surat yasin.

‘’Bu…,ibu…,Ratih pulang bu…’’Teriakku saat masuk rumah.Hatiku semakin hancur kala melihat tubuh ibu membujur tsk bernyawa.

‘’Bu,Ratih bawa piala untuk ibu,bangun bu jagan tinggalin ratih…,ibu jawab bu,kenapa ibu diam…’’tangisku seketika membuncah.
‘’Ratih,sabar nak,biarkan ibumu pergi dengan tenang,semua ini takdir’’tutur bu siti tetangga dekatku.
‘’Tadi,sebelum ibumu pergi ia titip ini untukmu.’’Bu siti menyodorkan sebuah amplop padaku.Kuterima amplop itu dan kubaca.


Untuk anak ibu tercinta,
Ratih Nuryani

Ratih…
Ibu yakin,kamu pasti pulang dengan membawa piala untuk ibu,ibu bangga nak.Belajar yang rajin biar pintar dan jadi orang sukses.Tidak seperti ibu.
Ratih jangan sedih nak,…
Walaupun saat kamu pulang membawa piala itu ibu sudah tak ada,tapi ibu akan selalu ada di hati ratih.Ratih harus tetap sekolah,bu siti yang akan mengurusmu.Jangan pernah pesimis,apalagi putus asa,orang pesimis dan putus asa tidak akan pernah berhasil.
Ratih harus bisa,ratih harus sukses dan bisa berguna bagi siapa saja.Doakan ibu yang jauh dari ratih,ibu tunggu doa anak ibu selalu.


Ibu

Air mataku semakin deras mengalir.
‘’Ratih,ibumu mengidap penyakit kanker hati,ibumu tak punya biaya untuk berobat.Ibumu merahasiakannya padamu karena ia tak ingin melihat kamu sedih,’’tutur bu siti yang dari tadi ada di sampingku.
‘’Sekarang kamu tinggal bersama Bu Siti,karena ibumu sudah menitipkan kamu pada ibu,’’
Aku terdiam,tak kusangka ibu memendam rahasia ini padaku.

Semua sudah terjadi,tak ada gunanya lagi aku menyesali,walaupun hati belum bisa menerima.

Sejak saat itu aku tinggal dengan ibu siti.Ia seorang janda dan tak mempunyai anak.Dengan warisan yang ditinggal suaminya,ia membiayai sekolahku sampai perguruan tinggi.Dan sekarang aku sudah menjadi dokter.prestasi demi prestasi ku dapatkan.Semua itu kulakukan hanya untuk ibu.