Rabu, 17 Maret 2010

Semua Ada di Tanganku.Revisi

Oleh Ulfatul M

Siang ini mentari terasa membakar tubuhku. Angin berhembus panas menyentuh kulitku membuatku makin malas berjalan menahan asap dan debu yang beterbangan.

“Ukhti Ana...!”
Sebuah suara yang tak asing bagiku. Aku menoleh. Terlihat Anis melambaikan tangan padaku.
“Ya, Allah! Aku lupa menunggu Ukhti Anis!” gumamku.
Aku tersenyum, kutunggu ia di bawah pohon waru. Teriknya matahari yang terbawa udara panas masih saja meraba kulitku.
pat salam lagi dari Akhi Fahmi. Dan buku Ukhti yang kemarin saya pinjam, tadi dip
Tak berapa lama Anis menghampiriku.
“Ukhti tidak les?” tanya Ukhti Anis dengan napas terengeh-engah.
“Tidak, Pak Hadi ada acara jadi lesnya diliburkan,” jawabku.
“Oh ya, Ukhti tadi dainjam Akhi Fahmi. Katanya dia butuh banget, gitu!”
“Alaiki waalaihissalam, buku yang mana, ya?”
“Buku shorof yang kemarin saya pinjam itu, lo!”
“Oh...., tapi buat apa dia pinjam?”
“Ya, saya tidak tahu. Eh, Ukhti salam kembali tidak?”
“Terserah Ukhti Anis saja deh...”
“Kok terserah?”
“Terus gimana? Masa setiap hari ada salam terus? Jangan-jangan Ukhti Anis sendiri yang mengada-ada?”
“Idih...! Siapa yang mengada-ada? Salamnya beneran, kok. Malah, Fahmi sering menanyakan Ukhti Ana.”
“Menanyakan saya?”
“Iya!”


Aku terdiam. Tiba-tiba hatiku resah. Detak jantungku terasa lebih cepat. Aku memang sudah lama digosipkan dengan Akhi Fahmi. Berawal dari Porseni tingkat Jawa Tengah beberapa bulan lalu. Kebetulan untuk MTQ yang menjadi perwakilan Grobogan adalah aku dan dia. Dari peristiwa itulah gosip antara aku dan Akhi Fahmi bermula.

Aku tak tahu, salam-salam yang disampaikan Ukhti Anis itu benar atau tidak. Tapi aku yakin, Ukhti Anis tidak mungkin bohong. Aku tahu betul dengan dia karena kita telah bersahabat sejak kelas tujuh.

Aku cukup terbiasa dengan salam yang disampaikan Ukhti Anis. Namun, tidak untuk hari ini. Tak biasanya Akhi Fahmi meminjam buku orang lain. Ia sangat rajin, disiplin, dan tak pernah ketinggalan pelajaran.
“Tapi untuk apa ia meminjam bukuku?” gumamku dalam hati.

“Ukhti Ana...!
Sebuah suara mengagetkanku. Sumbernya dari belakang. Serentak aku dan Ukhti Anis berhenti.
“Ukhti Aziz, ada apa?” tanyaku pada Gus Aziz. Ya, dia adalah salah satu putra KH. Muhammad Aziz, pendiri pondok pesantren di tempatku menimba ilmu. Kebetulan sejak kelas tujuh sampai kelas sembilan ini kita selalu satu kelas. Tidak mengherankan jika aku dengan Gus Aziz lebih akrab dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Bahkan, Ukhti Anis pun masih malu bila bertemu Akhi Aziz.

“Kamu punya catatan shorof kemarin, tidak?”tanya Gus Aziz.
“Punya, tapi baru dipinjam Akhi Fahmi,”jawabku.
“Iya, memang Akhi Aziz sangat butuh?”
Ia terdiam. Seperti memikirkan sesuatu.
“Akhi, saya bawa catatan shorof. Bagaimana kalau pinjam saya saja,” tanya Ukhti Anis mencoba mengusulkan solusi.
“Ukhti punya? Ya, sudah, saya pinjam Ukhti Anis saja.”
Ukhti Anis mengeluarkan catatan yang dimaksud lalu diberikan kepada Akhi Aziz.
“Terima kasih Ukhti. Insyaallah saya kembalikan besok,” kata Akhi Aziz sambil berlalu meninggalkan kami.

Tak berapa lama kemudian sampailah kami di pondok. Pondok masih terlihat sepi, hanya beberapa santri saja yang sudah pulang. Aku duduk sejenak melepas lelah yang tertahan sejka tadi. Kulepas seragamku dan kurebahkan tubuhku. Jam dinding menunjukkan pukul 13.45. masih cukup waktu bagiku untuk istirahat sampai azan ashar nanti. Kuperhatikan Ukhti Anis yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.

“Wah, wah, sobatku lagi kasmaran, nih?” godaku.
Ia memandangku malu.
“Sama siapa, ya?”
Wajahnya terlihat memerah menahan malu yang mungkin berat.
“Sama Gus Aziz, ya?” tebakku asal-asalan.
Ia terlihat kaget. Wajahnya makin merah. Ah, aku tak tahu apakah Ukhti Anis memendam rasa pada Akhi Aziz. Aku jadi tak tega untuk terus menggodanya.

Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya belum sampai aku terlelap, azan ashar berkumandang. Segera aku bangkit untuk memenuhi panggilan-Nya.

Hari ini begitu melelahkan. Kepalaku terasa sedikit pusing. Terpaksa malam ini aku tidak belajar. Sehabis salat isya, sengaja aku langsung istirahat.

Alhamdulillah pagi ini badanku terasa lebih segar. Pusing di kepalaku sudah hilang. Mentari bersinar begitu cerah secerah hatiku. Aku berangkat lebih pagi karena aku harus piket.

Sekolah masih sepi. Hanya beberapa siswa saja yang sudah terlihat di sana. Salah satunya adalah Akhi Fahmi. Dari jauh dia sudah melihat kedatanganku. Ia tersenyum menyambutku.

“Assalamualaikum Ukhti?”
“Waalaikum salam.”
“Oh ya, Ukhti, kemarin saya pinjam buku Uhkti. Dan ini saya kembalikan.”
“Ukhti Anis sudah cerita, kok. Tumben pinjam buku?”
“Ya, masih ada bagian yang belum saya catat,” jawabnya gugup. “Saya ke kelas dulu Ukhti. Assalamualaikum?
“Waalaikumsalam.”

Ia terlihat aneh hari ini. Tidak biasanya ia seperti itu. Aku segera masuk kelas. Sesampai di dalam segera aku letakkan tas di bangkuku. Dan buku shorof itu sebentar kupandangi lalu pelan-pelan kumasukkan ke dalam laci meja. Aku tersentak. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jatuh dari lipatan buku shorof tadi. Ku ambil amplop itu. Ketika aku menundukkan badan hendak mengambil amplop yang jatuh ke lantai, terlihat di laci ada amplop berwarna pink. Hatiku benar-benar tersentak. Dua buah amplop. Amplop apa ini? Satu merah satunya pink. Dengan penasaran dan perasaan tidak menentu kubuka sampul amplop pink dulu. Tampak sebuah surat. Tulisannya rapi. Kubaca pelan-pelan.

Dengan segenap keinginan, keberanian, dan ketulusan
Kutulis hasrat hatiku
Yang telah terpendam sekian lamanya
Sehingga tiada daya lagi diriku memendamnya.

Aku dapat melihat kecantikan jiwamu
Dalam sinar kesabaranmu
Ketulusan dalam senyum indah setiap sapamu
Dan kesetiaan dalam setiap ucapanmu

Setiap malam kupanjatkan doa
Memohon pada sang pemberi rasa
Agar aku bisa tetap melihat, mengharap, dan merasakan sinar jiwamu
Esok dan seterusnya.

Aziz Fatir Al Mubarok

“Akhi Aziz...!” gumamku lirih.
Tubuhku bergetar. Jantungku berdetak makin cepat.
Lalu kubuka amplop merah. Sebuah surat. Tulisannya kecil-kecil rapi.

Dengan memohon ridlo-Nya
Kutulis rasa yang ada
Kepadamu kucurahkan segalanya
Menurut apa hatiku berkata

Rasa ini terus mendera
Tak ada daya batin ini bila tidak kuucapkan
Aku ingin kau mengerti
Katakanlah apa yang hatimu katakan

Jangan kau membisu
Kepastian kan kutunggu
Rasaku kini tlah kau tahu dan biarka aku menanti waktu itu.

Fahmi Maulana Izzi

“Akhi Fahmi...!” kembali aku bergumam lirih.
Aku terduduk. Tubuhku terasa lemas tak berdaya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tak ingin Ukhti Anis tahu tentang hal ini. Aku tahu, ia memendam rasa pada Akhi Aziz. Dan kini mengapa Akhi Aziz mencurahkan perasaannya padaku?

Ya, Allah berikanlah hambamu ini jalan untuk dapat menyelesaikan masalah ini. Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung lagi.

* * *

Hatiku benar-benar bimbang. Selama pelajaran pada hari itu tidak ada satu pun yang aku pahami. Di dalam otakku hanya ada surat, surat, dan surat. Aku harus mengambil keputusan. Otakku tak mau diajak berpikir. Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing. Kulangkahkan kakiku keluar. Tujuanku adalah ke kamar mandi. Aku ingin mencuci muka untuk mendinginkan wajahku.

Keluar dari kamar mandi wajahku sedikit lebih segar. Aku melangkah kembali ke kelas. Di tengah kegelisahanku tiba-tiba aku tersentak melihat Ukhti Anis memegang sampul surat berwarna pink dari Akhi Aziz. Apakah surat itu telah dibaca oleh Ukhti Anis? Aduh, mengapa jadi begini?

“Ukhti, tadi ....” ucapku tersendat.
“Tadi Ukhti ditembak Akhi Aziz?” potongnya cepat.
“Tapi,....”
“Tapi, kenapa Ukhti tidak cerita kepada saya?” potongnya lagi.
Aku bingung harus bagaimana. Ukhti Anis memegang kedua tanganku. Kami berhadap-hadapan. Aku tak sanggup menatap wajahnya.

“Ukhti, Ukhti menganggap saya apa? Kenapa Ukhti tega? Saya selalu berusaha menjaga perasaan Ukhti. Saya tak tega menyakiti hati Ukhti. Namun, mengapa Ukhti tega menyayat-nyayat hati saya?” katanya sambil mengguncang-guncangkan tanganku.

Aku masih merasakan tatapan Ukhti Anis. Dia terisak. Tanganku dilepasnya. Dia kemudian duduk. Air matanya masih mengalir deras. Aku duduk di sampingnya. Tak sanggup berkata.. Rasanya aku ingin menjelaskan masalah ini kepadanya, tetapi mengapa lidahku kelu. Tak satu pun kata keluar dari mulutku. Bibirku seperti terkunci. Pikiranku masih tak tenang. Aku berusaha menguasai diri.

Aku tak bisa menerima cinta Akhi Aziz. Sahabatku telah mencintainya. Ya, Allah berikanlah hamba-Mu jalan....

Aku harus menentukan sikap. Aku tidak ingin persahabatanku dengan Ukhti Anis putus hanya karena mencintai orang yang sama. Aku memang memendam rasa pada Akhi Aziz. Namun, biarlah itu menjadi cinta di dalam hati.

Akhirnya, di atas kertas putih kutulis kepastian itu.

Persahabatan tlah kita jalani
Susah senang kita rasakan bersama
Aku ingin ikatan ini terus abadi
Cinta sahabat sepanjang masa

Jangan kau harap cinta kasihku
Aku tak bisa berikan itu
Yang kubisa hanya cinta sahabat
Seumur hidup sepanjang hayat

Cukup jelas kepastian ini
Menjawab segala bimbing di hati
Aku yakin kau bisa pahami
Bila jodoh di saat nanti

Nifa Annadia


Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam amplop pink. Segera kuletakkan amplop itu ke dalam laci Akhi Aziz. Tidak ada yang tahu. Saat itu, sekolah sudah sepi. Tinggal aku sendiri yang belum pulang.

Kembali aku menulis kepastian. Untuk menjawab perasaan Akhi Fahmi.

Aku kan katakan apa yang hatiku katakan
Di atas kertas putih ini kan kutulis kepastian
Kucoba mengerti apa yang kau rasakan
Dari apa yang tlah kau curahkan

Aku ingin yang terbaik
Hatiku tak bisa katakan “iya”
Kau pun tak ingin ada dusta
Bila kupaksa untuk bersama

Kamu kan dapatkan yang lebih baik
Pasangan hatimu yang kau tunggu
Percayalah pada cinta sejati
Yang kan datang di saat nanti

Nifa Annadia


Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam amplop merah.
Setelah hatiku agak tenang. Kuputuskan untuk pulang sebelumnya aku masuki kelas Akhi Fahmi dan kuletakkan amplop itu di lacinya.

Sampai di pondok, Ukhti Anis terlihat masih marah. Namun, harus tetap kuhadapi. Aku harus menjelaskan semuanya. Ukhti Anis percaya atau tidak kupasrahkan semuanya kepada Allah.

“Ukhti Anis, berilah saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” pintaku padanya.
“Sudahlah Ukhti, saya ikhlas, kok. Toh, saya juga bukan siapa-siapanya Akhi Aziz,” katanya tanpa menoleh.
“Ukhti, Akhi Aziz memang menembak saya, tapi saya tidak bisa membalas perasaannya. Aku ingin dia tetap menjadi sahabat, bukan pacar.”
Aku diam. Ia juga terdiam.
Aku dekati Ukhti Anis yang sedari tadi memandang ke luar jendela. Jilbabnya yang merah berkibar-kibar terkena angin.

“Ukhti, percayalah, saya tidak mempunyai rasa pada Akhi Aziz. Dan dia akan tetap menjadi sahabatku.”
Dia berbalik. Menatapku. Seketika dia memelukku. Dia menangis. Air matanya mengalir. Kami berangkulan. Aku merasa lega. Ukhti Anis telah bisa menerima penjelasanku.

“Ukhti, maafkan saya karena telah salah paham terhadap Ukhti. Saya terlalu egois padahal saya semestinya tidak berhak marah.”
Kulepas pelukannya. Kupegang kedua tangannya lalu kutatap lekat-lekat wajah Ukhti Anis.
“Sudahlah, yang penting semua sudah jelas.”
Dia mengangguk-angguk.
“Sudah tidak ada salah paham lagi.Marahnya sudah hilang kan?” godaku.
“Ah, Ukhti Ana jahat...!” katanya dan mencubit pinggangku. Dia tertawa-tawa.
“Aduh, sakit tahu!” kataku sambil menghindar. Aku berusaha tersenyum.

Alhamdulillah ya Allah telah Kau berikan jalan keluar masalah ini ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar